Bangjo.co.id, YOGYAKARTA – Upaya penagihan kepada nasabah atau debitur yang menunggak cicilan dengan jaminan fidusia belakangan menjadi sorotan di masyarakat.
Merespon hal tersebut, Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Perlindungan Kepentingan Hukum Perusahaan Pembiayaan Dalam Relasi dengan Profesi Penagih Hutang” yang diselenggarakan secara hybrid di Yogyakarta.
Acara FGD ini diselenggarakan melakukan pekerjaan sama dengan FIFGroup dan didatangi 3 narasumber jago di bidang industri pembiayaan dan mekanisme sanksi jaminan fidusia.
Ketiganya yakni Kepala Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Polri, Brigadir Jenderal Veris Septiansyah; Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Sobandi; dan Pakar Hukum Jaminan Fidusia Universitas Diponegoro, Siti Malikhatun Badriyah; dan dimoderatori oleh Ketua Asosiasi Advokasi Konstitusi, Bahrul Ilmi Yakup.
Program ini mendiskusikan tentang operasional bisnis pembiayaan dalam mekanisme penagihan hingga sanksi jaminan fidusia.
Dipaparkan, proses penagihan dan sanksi jaminan fidusia di industri pembiayaan menjadi fasilitas untuk mengembangkan iktikad penduduk kepada perusahaan pembiayaan di Indonesia.
Dengan pendekatan yang transparan dan adil, hal ini sanggup memperkuat ekosistem bisnis dan mendukung kelangsungan pengelolaan kredit.
Untuk memaksimalkan manfaatnya, kebijakan dan regulasi yang sepadan sungguh penting, sehingga industri pembiayaan sanggup terus bertambah dengan sehat dan menyediakan faedah yang maksimal bagi semua pihak.
Ketua Asosiasi Advokasi Konstitusi, Bahrul Ilmi Yakup dalam sambutannya menjelaskan, dikala ini industri pembiayaan tengah dihadapkan dengan banyaknya stigma negatif dari proses penagihan yang dilaksanakan oleh para pelaku kerja keras pembiayaan dan seluruh pemangku kepentingan.
“Stigma negatif ini pasti merugikan para pelaku di industri pembiayaan, sehingga sungguh penting untuk mendatangkan keberimbangan sokongan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari konsumen, pelaku usaha, hingga bagi para pelaku penagihan,” ungkap Bahrul.
Operation Director FIFGroup Setia Budi Tarigan menyatakan sungguh bersyukur atas terselenggaranya lembaga ini alasannya yakni menyediakan potensi yang sepadan dalam menyediakan sokongan kepentingan aturan bagi perusahaan pembiayaan.
“Dalam mengurus kredit macet, proses penagihan dilaksanakan selaku upaya menangkal biar tidak terjadinya kenaikan kredit bermasalah, namun, akhir dari stigma negatif itu sendiri mengakibatkan timbulnya kekurangan bagi perusahaan pembiayaan dalam beroperasional, sehingga hal ini sanggup berefek kepada kesehatan industri pembiayaan itu sendiri secara umum,” ungkap Budi.
Sesi diskusi dibuka dengan pemaparan bahan oleh Kepala Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Polri, Brigjen Veris Septiansyah. Veris menyebutkan, sungguh penting bagi para pelaku profesi penagihan memperhatikan mekanisme yang dilakukan.
“Seringkali didapatkan adanya langkah-langkah mekanisme penagihan yang menggunakan kekerasan fisik ataupun dengan langkah-langkah premanisme, sehingga hal ini lah yang mengakibatkan timbulnya sudut pandang negatif terkait dengan mekanisme penagihan,” kata Veris.
Menurut Veris, para pelaku kerja keras mesti bisa mengerjakan upaya penagihan sesuai dengan pendekatan peraturan yang berlaku, menyerupai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, seluruh regulasi yang diterbitkan lewat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Putusan Mahkamah Konstitusi, hingga Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
“Seluruh regulasi tersebut menjadi fatwa dasar yang perlu ditaati oleh perusahaan pembiayaan, sehingga upaya penagihan itu sanggup dijalankan dengan baik.”
“Tentunya hal ini juga perlu dimengerti oleh pelanggan bahwa regulasi ini juga mengikat penduduk yang menjadi pelanggan layanan pembiayaan dalam mengerjakan kewajibannya, menyerupai pembayaran angsuran dengan sempurna waktu dan melunasi hutangnya” kata Veris.
Menurut Sobandi, menurut regulasi, mekanisme ekseksui jaminan fidusia yang telah ada dikala ini mesti dipermudah dan disimplifikasi.
“Seringkali dari regulasi yang telah ada mempersulit upaya penagihan maupun proses sanksi jaminan fidusia. Bahkan ada pelaku profesi penagihan yang dihakimi oleh warga alasannya yakni mengerjakan penagihan, ini menampilkan adanya kehabisan secara regulasi yang mengakibatkan lembaga pembiayaan mengalami kesusahan dalam penagihan,” tutur Sobandi.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa di saat kepentingan aturan dilindungi, maka perlu diimbangi juga dengan langkah-langkah penagihan oleh lembaga pembiayaan dengan tetap memperhatikan kepentingan sokongan konsumen.
Dari sudut pandang akademisi yang disampaikan oleh Pakar Hukum Jaminan Fidusia Universitas Diponegoro, Siti Malikhatun Badriyah, intinya mekanisme penagihan dan penjagaan unit jaminan fidusia sanggup dilaksanakan dengan adanya akta jaminan fidusia.
“Sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial, namun, perlu diamati keabsahan dari jaminan fidusia itu sendiri yang termasuk dua tahap, yakni pembebanan dan registrasi jaminan fidusia,” tutur Siti sembari menerangkan bahwasa akta ini ditandatangani oleh pihak debitur maupun kreditur.
Dengan demikian, berlakunya asas asas aturan penjaminan yang ada di dalam pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kegiatan FGD ini mendapat respon positif dari seluruh akseptor dan program tersebut dibutuhkan sanggup memeberikan pengertian dan kesadaran bagi seluruh pemangku kepentingan akan kemunculan sebuah bentuk kebijakan atau regulasi yang berimbang terkait dengan proses sanksi jaminan fidusia sesuai dengan Undang Undang Jaminan Fidusia yang melindungi kepentingan seluruh pihak yang terlibat.
FGD berjalan hangat, di mana narasumber dengan lengkap dan rincian menyediakan respon dari pertanyaan audiens. Kegiatan ini dibutuhkan sanggup mengembangkan pengertian mengenai upaya penagihan dan sanksi jaminan fidusia.
FGD dibarengi oleh lebih dari 150 akseptor yang datang secara pribadi dan lebih dari 700 akseptor daring lewat platform Zoom yang berasal dari Asosisasi Advokat Konsutitusi, Aparat Hukum Kepolisian, Organisasi dan Asosiasi Para Pelaku Usaha Penagihan, dan karyawan FIFGroup.